Jumat, 29 November 2019


Sri Wahono Margo Prayoga

Keliling Indonesia dengan Sepeda Onthel 


Sukoharjo – Saat ini banyak sekali komunitas pesepeda angin. Mereka berkelompok, naik sepeda kebo atau sepeda onthel, mengelilingi berbagai wilayah. Biasanya ke tempat-tempat wisata, lalu dilanjutkan ngobrol bareng di tempat kuliner yang ramah kantong.
Sebelum marak komunitas seperti saat ini, warga Sukoharjo sudah ada yang mendahului naik sepeda onthel. Tidak main-main! Pria bernama Sri Wahono Margo Prayoga (74 tahun) ini sudah keliling Indonesia pada tahun 1971 sampai 1975. Keren kan?
Mbah Sri Wahono, begitulah pria ini disapa. Meski sudah tidak muda lagi, namun semangatnya tak pernah padam. Saat ini ia masih tetap bersepeda dan menjadi tukang pijat.
‘’Sudah menjadi kebiasaan, kalau tidak naik sepeda rasanya masih ada yang kurang. Jaraknya nggak jauh-jauh, kadang-kadang sampai Solo atau Yogya,’’ kata bapak yang tinggal di Dukuh Sengon RT 02/ RW 1, Desa Begajah, Sukoharjo ini.
Satu lagi ketelatenan kakek yang sudah bercucu dua ini, yaitu rajinnya mengarsipkan dan mencatat semua kisah perjalanannya, sejak awal hingga akhir. Semuanya tersimpan rapi di 13 buku tulis berbagai ukuran. Ada yang ukurannya standart, besar, dan ada pula yang semacam buku saku. Semua ditulis tangan. Juga disertai arsip-arsip dan beberapa foto tempo doeloe yang warnanya sudah memudar. Ohh kenangan, so sweet.
Dalam arsipnya tersebut, tanda tangan dan cap milik pejabat pemerintah di daerah tersebut. Meski telah terlihat lusuh setiap catatan masih terbaca dan tersusun rapi. Cap dari lembaga yang dikunjungi seperti dari militer, dinas sosial, kantor kecamatan, resor kepolisian di Gorontalo, Sulawesi pada 1975, cap Kades Silanga, Sulawesi Tengah 1975 dan lainnya.
Ditemani daya ingatnya yang cemerlang, suami Saparia ini mulai bercerita. Awalnya, pada tahun 1971, ia ingin ke Jakarta naik sepeda onthel. Keinginan tersebut ditentang oleh Pamannya yang menjabat di kesatuan TNI. Karena nekad, ia sempat dipukul oleh Pamannya tersebut.
Karena akan mengawali perjalanan panjang dan tidak sembarang orang bisa, Sri Wahono muda yang kala itu berusia 19 tahun, berpamitan ke Pak Sadikin Budi Kusuma, yaitu Bupati Sukoharjo. Ia diberi doa restu dan uang saku sebanyak 15 (limabelas) rupiah.
‘’Waktu itu uang 15 rupiah sudah banyak,’’ katanya terkekeh.
Dengan menaiki sepeda jengki, mulailah ia mengayuh sampai ke Jakarta. Ia menghabiskan waktu satu minggu untuk sampai Ibu Kota Jakarta. Di sana, ia menginap di Sektor (kantor Polsek). Di Jakarta tersebut, ia juga sempat mengunjungi kantor Mabes Polri, kantor Hankam, Dinas Sosial, dan lain-lain. Ia disambut hangat oleh para pejabat.
Seminggu di Jakarta, ia memutuskan untuk pulang. Setelah beristirahat beberapa lama, ia mulai berkeliling lagi di Jawa, Madura, dan Bali. Dilanjut ke Sumatera melewati Teluk Bethuk (Lampung)  menuju Palembang melewati Jambi - Batanghari. Dilanjut ke Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Papua.
Bekal yang dibawanya hanya peta Indonesia, buku tulis, surat perjalanan, peralatan mandi dan beberapa buah baju.
Tidak setiap perjalanan ia tempuh dengan sepeda onthel. Bila harus menyeberang lautan dan naik perahu kecil, ia jual sepedanya dan uangnya ia simpan. Bila keadaan memungkinkan, ia beli sepeda lagi. Begitu seterusnya.
‘’Setiap menyeberang lautan, saya nunut kapal dan tidak membayar karena bekal uang saya minim kan? Sebagai gantinya, saya membantu para kru memasak, mencuci, atau mengepel kabin kapal. Pokoknya, pekerjaan yang bisa, pasti saya kerjakan,’’ kata bapak satu putri bernama Puji Dewi Gede Ayu Rinjani ini, penuh semangat.
Perjalanan yang paling susah menurutnya, saat di Kalimantan Tengah ketika lewat dari Pangkalanbun (Kateng) menuju Nanga Tayap Kalbar. Karena tidak ada uang untuk naik kapal, ia nekad menerobos hutan. Makannyapun hanya buah-buahan yang ia temui seperti pisang, apel, kelapa dan lain-lain. Ditambah, karena hutannya rawa-rawa, kakinya banyak dirubung pacet.
Wahono menjelaskan, tidak semua hal bisa gratis. Meski uangnya terbatas, ia mengaku tidak khawatir kekurangan. Karena bisa memijat, ia bisa mendapatkan uang.

Bertemu Kawan di Perjalanan .
Dalam perjalanannya tersebut, ia pernah bertemu salah seorang temannya yang sama-sama petualangan. Keduanya bertemu di perjalanan antara Pare-pare menuju Sulawesi Tengah. Ia lupa siapa nama kawannya tersebut.
Dari pertemuan tersebut, kawannya itu meminjam enam buah bukunya yang hingga saat ini keduanya tidak pernah bertemu lagi. Karena keduanya memutuskan, harus melanjutkan perjalanan sendiri-sendiri.
Wahono menempuh rute Pare-pare – Sulawesi Tengah – Sulawesi Selatan – Sulawesi Tenggara – Pelabuhan Anging Mamiri – Surabaya – dan pulang ke Sukoharjo naik kereta api. Ia pulang pada tahun 1981. Tak lama kemudian ia menikah dengan Saparia dan dikaruniai seorang putri cantik.
Di penghujung ceritanya, dengan melanglangbuana keliling Indonesia dengan modal pas-pasan, Wahono mengaku bisa memandang wajah Indonesia lebih beragam. Indonesia sangat indah dan kaya akan budayanya.  
Dari kekayaan budaya tersebut, setiap daerah mempunyai nilai sosial yang harus dijaga. Ia bisa membaur dengan warga suku lain.     
‘’Senanglah bersepeda, karena dalam bersepeda akan menjadikan tubuhmu sehat. Dengan tubuh yang sehat, pikiranpun menjadi sehat, sehingga cinta kita kepada Indonesia bisa benar-benar penuh,’’ pesannya.  (Nanik)