Dari dulu,
saya menyukai mata itu. Bola matanya agak kebiru-biruan, di tengah-tengahnya
ada hidung mancung yang sempurna. Bibirnya selalu berwarna pink segar, tak
pernah pelit tersenyum kepada siapa saja. Dia cantik sempurna dengan postur
tubuh yang semampai. Siapapun wanita, pasti akan memandang ‘’iri’’ kepadanya,
yang Tuhan begitu indah menciptakannya.
Nama
kawanku itu Marcella, kawan kuliah dulu, 25 tahun yang lalu, atau seperempat
abad yang lalu. Dulu aku berpikir, orang cantik pasti hidupnya akan selalu
bahagia. Ditambah, dia terlahir di tengah-tengah keluarga kaya. Sempurna banget
kan hidupnya?
Beda dengan
saya. Cantik enggak, kaya juga enggak. Tapi saya tidak pernah berlarut-larut
membanding-bandingkan diriku dengan dirinya.Tuhan sudah mengatur semuanya.
Tinggal saya sebagai hamba sahaya, harus banyak-banyak bersyukur untuk
menikmati semua karuniaNya.
Kalau dulu
saya mengagumi bola mata indahnya, kini saya mengagumi ketabahannya yang tiada
tara. Wanita bermata indah itu, ternyata mengalami nasib yang amat tragis. Saya
menyebutnya tragis, karena di luar ekspektasiku.
Lama tidak
bertemu dengan Marcella, begitu ketemu, banyak cerita duka yang tersampaikan.
Lulus kuliah dan menikah, Ella – begitu saya memanggil – tak pernah lagi berkomunikasi
dengan kawan-kawan. Ella memilih hilang di telan bumi.
‘’Suamiku
bangkrut. Dia pengusaha tetapi selalu berspekulasi. Harta milikku, peninggalan
Abah, habis ludes untuk modal usaha suamiku,’’ kata Ella mengenai dirinya.
‘’Kamu
sedih?’’ tanyaku.
‘’Awal-awalnya
iya, mengapa nasib keluarga kecil kami bisa berubah drastis begini? Siapa yang
tidak shock coba, yang semula terbiasa tinggal di rumah mewah dengan berbagai
macam fasilitas yang mudah, tiba-tiba harus ngontrak rumah sederhana? Coba kamu
bayangin’’.
Saya
terbelalak.
‘’Tapi
tangisanku, keluhanku, sejuta rasa kecewaku, tidak akan mampu membawa hartaku
kembali lagi. Jalan satu-satunya adalah, aku pasrah, berdamai dengan keadaan.
Semua baik-baik saja. Hidup terus berjalan, dunia terus berputar, dan saya
harus tegar!’’.
**