Minggu, 08 Desember 2019

Wanita Bermata Indah





Dari dulu, saya menyukai mata itu. Bola matanya agak kebiru-biruan, di tengah-tengahnya ada hidung mancung yang sempurna. Bibirnya selalu berwarna pink segar, tak pernah pelit tersenyum kepada siapa saja. Dia cantik sempurna dengan postur tubuh yang semampai. Siapapun wanita, pasti akan memandang ‘’iri’’ kepadanya, yang Tuhan begitu indah menciptakannya.
Nama kawanku itu Marcella, kawan kuliah dulu, 25 tahun yang lalu, atau seperempat abad yang lalu. Dulu aku berpikir, orang cantik pasti hidupnya akan selalu bahagia. Ditambah, dia terlahir di tengah-tengah keluarga kaya. Sempurna banget kan hidupnya?
Beda dengan saya. Cantik enggak, kaya juga enggak. Tapi saya tidak pernah berlarut-larut membanding-bandingkan diriku dengan dirinya.Tuhan sudah mengatur semuanya. Tinggal saya sebagai hamba sahaya, harus banyak-banyak bersyukur untuk menikmati semua karuniaNya.
Kalau dulu saya mengagumi bola mata indahnya, kini saya mengagumi ketabahannya yang tiada tara. Wanita bermata indah itu, ternyata mengalami nasib yang amat tragis. Saya menyebutnya tragis, karena di luar ekspektasiku.
Lama tidak bertemu dengan Marcella, begitu ketemu, banyak cerita duka yang tersampaikan. Lulus kuliah dan menikah, Ella – begitu saya memanggil – tak pernah lagi berkomunikasi dengan kawan-kawan. Ella memilih hilang di telan bumi.
‘’Suamiku bangkrut. Dia pengusaha tetapi selalu berspekulasi. Harta milikku, peninggalan Abah, habis ludes untuk modal usaha suamiku,’’ kata Ella mengenai dirinya.
‘’Kamu sedih?’’ tanyaku.
‘’Awal-awalnya iya, mengapa nasib keluarga kecil kami bisa berubah drastis begini? Siapa yang tidak shock coba, yang semula terbiasa tinggal di rumah mewah dengan berbagai macam fasilitas yang mudah, tiba-tiba harus ngontrak rumah sederhana? Coba kamu bayangin’’.
Saya terbelalak.
‘’Tapi tangisanku, keluhanku, sejuta rasa kecewaku, tidak akan mampu membawa hartaku kembali lagi. Jalan satu-satunya adalah, aku pasrah, berdamai dengan keadaan. Semua baik-baik saja. Hidup terus berjalan, dunia terus berputar, dan saya harus tegar!’’.
**

Jumat, 29 November 2019


Sri Wahono Margo Prayoga

Keliling Indonesia dengan Sepeda Onthel 


Sukoharjo – Saat ini banyak sekali komunitas pesepeda angin. Mereka berkelompok, naik sepeda kebo atau sepeda onthel, mengelilingi berbagai wilayah. Biasanya ke tempat-tempat wisata, lalu dilanjutkan ngobrol bareng di tempat kuliner yang ramah kantong.
Sebelum marak komunitas seperti saat ini, warga Sukoharjo sudah ada yang mendahului naik sepeda onthel. Tidak main-main! Pria bernama Sri Wahono Margo Prayoga (74 tahun) ini sudah keliling Indonesia pada tahun 1971 sampai 1975. Keren kan?
Mbah Sri Wahono, begitulah pria ini disapa. Meski sudah tidak muda lagi, namun semangatnya tak pernah padam. Saat ini ia masih tetap bersepeda dan menjadi tukang pijat.
‘’Sudah menjadi kebiasaan, kalau tidak naik sepeda rasanya masih ada yang kurang. Jaraknya nggak jauh-jauh, kadang-kadang sampai Solo atau Yogya,’’ kata bapak yang tinggal di Dukuh Sengon RT 02/ RW 1, Desa Begajah, Sukoharjo ini.
Satu lagi ketelatenan kakek yang sudah bercucu dua ini, yaitu rajinnya mengarsipkan dan mencatat semua kisah perjalanannya, sejak awal hingga akhir. Semuanya tersimpan rapi di 13 buku tulis berbagai ukuran. Ada yang ukurannya standart, besar, dan ada pula yang semacam buku saku. Semua ditulis tangan. Juga disertai arsip-arsip dan beberapa foto tempo doeloe yang warnanya sudah memudar. Ohh kenangan, so sweet.
Dalam arsipnya tersebut, tanda tangan dan cap milik pejabat pemerintah di daerah tersebut. Meski telah terlihat lusuh setiap catatan masih terbaca dan tersusun rapi. Cap dari lembaga yang dikunjungi seperti dari militer, dinas sosial, kantor kecamatan, resor kepolisian di Gorontalo, Sulawesi pada 1975, cap Kades Silanga, Sulawesi Tengah 1975 dan lainnya.
Ditemani daya ingatnya yang cemerlang, suami Saparia ini mulai bercerita. Awalnya, pada tahun 1971, ia ingin ke Jakarta naik sepeda onthel. Keinginan tersebut ditentang oleh Pamannya yang menjabat di kesatuan TNI. Karena nekad, ia sempat dipukul oleh Pamannya tersebut.
Karena akan mengawali perjalanan panjang dan tidak sembarang orang bisa, Sri Wahono muda yang kala itu berusia 19 tahun, berpamitan ke Pak Sadikin Budi Kusuma, yaitu Bupati Sukoharjo. Ia diberi doa restu dan uang saku sebanyak 15 (limabelas) rupiah.
‘’Waktu itu uang 15 rupiah sudah banyak,’’ katanya terkekeh.
Dengan menaiki sepeda jengki, mulailah ia mengayuh sampai ke Jakarta. Ia menghabiskan waktu satu minggu untuk sampai Ibu Kota Jakarta. Di sana, ia menginap di Sektor (kantor Polsek). Di Jakarta tersebut, ia juga sempat mengunjungi kantor Mabes Polri, kantor Hankam, Dinas Sosial, dan lain-lain. Ia disambut hangat oleh para pejabat.
Seminggu di Jakarta, ia memutuskan untuk pulang. Setelah beristirahat beberapa lama, ia mulai berkeliling lagi di Jawa, Madura, dan Bali. Dilanjut ke Sumatera melewati Teluk Bethuk (Lampung)  menuju Palembang melewati Jambi - Batanghari. Dilanjut ke Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Papua.
Bekal yang dibawanya hanya peta Indonesia, buku tulis, surat perjalanan, peralatan mandi dan beberapa buah baju.
Tidak setiap perjalanan ia tempuh dengan sepeda onthel. Bila harus menyeberang lautan dan naik perahu kecil, ia jual sepedanya dan uangnya ia simpan. Bila keadaan memungkinkan, ia beli sepeda lagi. Begitu seterusnya.
‘’Setiap menyeberang lautan, saya nunut kapal dan tidak membayar karena bekal uang saya minim kan? Sebagai gantinya, saya membantu para kru memasak, mencuci, atau mengepel kabin kapal. Pokoknya, pekerjaan yang bisa, pasti saya kerjakan,’’ kata bapak satu putri bernama Puji Dewi Gede Ayu Rinjani ini, penuh semangat.
Perjalanan yang paling susah menurutnya, saat di Kalimantan Tengah ketika lewat dari Pangkalanbun (Kateng) menuju Nanga Tayap Kalbar. Karena tidak ada uang untuk naik kapal, ia nekad menerobos hutan. Makannyapun hanya buah-buahan yang ia temui seperti pisang, apel, kelapa dan lain-lain. Ditambah, karena hutannya rawa-rawa, kakinya banyak dirubung pacet.
Wahono menjelaskan, tidak semua hal bisa gratis. Meski uangnya terbatas, ia mengaku tidak khawatir kekurangan. Karena bisa memijat, ia bisa mendapatkan uang.

Bertemu Kawan di Perjalanan .
Dalam perjalanannya tersebut, ia pernah bertemu salah seorang temannya yang sama-sama petualangan. Keduanya bertemu di perjalanan antara Pare-pare menuju Sulawesi Tengah. Ia lupa siapa nama kawannya tersebut.
Dari pertemuan tersebut, kawannya itu meminjam enam buah bukunya yang hingga saat ini keduanya tidak pernah bertemu lagi. Karena keduanya memutuskan, harus melanjutkan perjalanan sendiri-sendiri.
Wahono menempuh rute Pare-pare – Sulawesi Tengah – Sulawesi Selatan – Sulawesi Tenggara – Pelabuhan Anging Mamiri – Surabaya – dan pulang ke Sukoharjo naik kereta api. Ia pulang pada tahun 1981. Tak lama kemudian ia menikah dengan Saparia dan dikaruniai seorang putri cantik.
Di penghujung ceritanya, dengan melanglangbuana keliling Indonesia dengan modal pas-pasan, Wahono mengaku bisa memandang wajah Indonesia lebih beragam. Indonesia sangat indah dan kaya akan budayanya.  
Dari kekayaan budaya tersebut, setiap daerah mempunyai nilai sosial yang harus dijaga. Ia bisa membaur dengan warga suku lain.     
‘’Senanglah bersepeda, karena dalam bersepeda akan menjadikan tubuhmu sehat. Dengan tubuh yang sehat, pikiranpun menjadi sehat, sehingga cinta kita kepada Indonesia bisa benar-benar penuh,’’ pesannya.  (Nanik)

Senin, 01 April 2019


Kadang Hujan


Kadang hujan merintikkan puisi rindu
Di tengah rinainya yang menderu
Kadang hujan merintikkan sendu, pilu
Sebab,
Kau tak disampingku!

Kadang hujan tak sekelam masa lalu
Sebab kau memberi harapan baru
Di hidupku! 

** (01/april/ 2019)


Sabtu, 11 Agustus 2018

Mengapa Harus Diet?


Mengapa kita harus diet? Mengapa kegemukan menjadi momok bagi kaum wanita? Oh tidak, momok bagi siapa saja, pria ataupun wanita. Setuju ya?
Bayangin aja, kita yang dulu punya tubuh langsing semlohey, memakai baju apa saja serba pantes dan pas sedap dipandang mata, kini tiba-tiba berubah menjadi gemuk muk muuuuk.
‘’Ah nggak apa-apalah, biar gemuk yang penting sehat,’’ kata ibu-ibu mantan pemilik tubuh langsing, yang sekarang badannya menjadi melar.
Yakin sehat nih? Bukankah kegemukan atau obesitas itu berpotensi memunculkan banyak penyakit? Gak percaya? Googling deh, hehehe...!
Gemuk itu ya prens, tambahnya gak terasa, diam-diam bae pokoke. Kita terlena, sambil berpikir, aaahhh belum gemuk-gemuk banget kok. Besok-besok deh dietnya. Besok-besok? Kapan? Setahun lagi? Dua tahun lagi? Ya begitulah kira-kira. Besok-besok buat emak-emak itu yaaa...lamaaa bingits.
‘’Berat badan ibu kelebihan 15 kilogram dari berat ideal,’’ kata seorang mas-mas yang merayu diriku untuk mampir ke gerai-nya di sebuah acara festival kuliner.
Gerai-nya si mas-mas itu menawarkan cara menurunkan berat badan yang sehat. Diriku diminta untuk timbang badan dulu. Bukan sembarang timbangan, karena dia tahu berapa banyak lemak di perutku, hahaha...!
Singkat cerita, itu si mas-mas (di situ juga ada mbak-mbaknya) menawarkan makanan sehat untuk diet yang harganya sekian ratus ribu untuk sepuluh hari pertama.
‘’Kalau saya sudah mencapai berat ideal, lalu makan saya ceroboh lagi gimana Mas?’’ tanyaku.
‘’Ya naik lagi nanti Bu,’’ jawabnya enteng.
Jawaban inilah yang membuatku shock. Bukan karena takut gemuk lagi, bukan. Saya hanya berpikir waktu itu, kok jawabannya seperti itu? Yang notabene, menakut-nakuti calon pelanggan dong? Hahahaha...! Seharusnya jawabnya begini : Insya Allah enggak naik lagi Bu, yuk kita coba dulu?
Lha semisal besok-besok saya bakalan gemuk lagi, toh saya tidak mungkin marah-marah lagi sama si mas-mas itu kan? Ya, anggap saja itu bagian dari deritaku, hahahaha....!
Singkat cerita lagi, saya tidak memakai produknya. Pun ketika saya dikasih voucher gratis sehari untuk makan pagi di gerainya, tidak saya manfaatkan.
**
Tapi kelebihan limabelas kilo itu sangat mengganggu saya. Okey, di usiaku yang segini, bisa jadi 65  kilogram. Lambat laun kalau nanti melebar menjadi 70 kilogram? Apa tidak susah cara menurunkannya?
Saya mulai berpikir untuk diet, meskipun tidak ketat. Diet ocd yang jendelanya diambil lebar-lebar, hahahaha. Maksudnya ocd jendela lebar itu, saya mulai makan jam 10 pagi sampai jam 19.00. Hari selanjutnya seharusnya mulai makan jam 11.00 sampai jam 18.00 tapi tetap tidak bisa. Okeylah pelan-pelan, tidak apa-apa. Oh ya, saya juga mengurangi gula dan harus berolahraga meskipun di atas kasur dengan cara pushup, menggerak-gerakkan tangan, dan sebagainya.
**
Hasilnya gimana? Tubuh menjadi stress, karena tidak biasanya olahraga dipaksa harus berolahraga meskipun ringan. Tubuh tetep perlu adaptasi. Baru dapat sehari dua hari, tubuh mriyang-mriyang tidak enak. Pengen berhenti saja. Ah, biarin saja gemuk!
Tapi sisi hati berbisik, banyak kaos dan kemeja yang tidak muat lho? Juga perut gendutmu. Mendengar bisikan itu, akhirnya diet tetap saya jalankan. Prinsipku sekarang, asal makan malam dibatasi sampai jam tujuh! Tidak ada coffemix lagi di malam hari menemani ngetik, teh manis hangat malam-malam, atau minuman manis lainnya. Coret semua dari daftar. Turun berat badannya lama sekali juga biarin, asal tidak nambah lagi. Coba kalau tidak meluangkan waktu khusus untuk diet, bakalan diem-diem bae itu berat badan naik. Hahahaha...
Tunggu lanjutannya ya? Maksudnya, tunggu hasil diet saya, berhasil atau gagal! Hahahaha....!
**